Tuesday, April 12, 2011

Sejarah Pemadam Kebakaran Indonesia


Brabweer atau pemadam kebakaran belum ada di Batavia hingga awal abad 20. Di masa sebelum brandweer ada orang mengandalkan jasa tukang ronda. Maka untuk perlengkapan ronda diadakan gardu lengkap dengan kentongan kayu. Kentongan ini dipukul saat terjadi kebakaran, perampokan, atau jika ada orang yang mengganggu ketertiban umum seperti orang mengamuk.
Tanda ada kebakaran berbeda dengan kalau terjadi perampokan atau orang mengamuk. Kalau kentongan dipukul terus menerus berarti sedang terjadi kebakaran. Jika kentongan dipukul tiga kali secara berulang itu tanda perampokan atau ada orang mengamuk.

Untuk menghadapi bahaya kebakaran di beberapa kampung dibentuk kelompok pemadam kebakaran. Anggotanya pemuda pengangguran yang belum dikenakan pajak. Kapanpun terdengar bunyi kentongan tanda kebakaran, para pemuda itu akan lebih dulu bertindak memadamkan api. Pada saat bertugas para pemuda yang dijuluki anak pompa ini mengenakan sepotong kain bernomor urut pada lengan bajunya. Hadiah uang menanti mereka yang bekerja baik.

Cara menangani kebakaran seperti itu tentu lama kelamaan dianggap tidak efektif sehingga tidak dilanjutkan lagi, demikian tertulis dalam buku "Jaarboek van Batavia en Omstreken". Dalam sidang-sidang kotapraja usulan mendesak agar kotapraja punya satu korp pemadam kebakaran terus didengungkan.

Pada tahun 1918 terjadi kebakaran besar di Kwitang. Momen itulah yang kemudian menyentak orang termasuk para petinggi kotapraja karena kebakaran besar itu tak mampu dipadamkan hanya dengan sistem anak pompa tadi. Akhirnya, persis di tahun baru 1919 secara resmi Kotapraja Batavia memiliki pemadam kebakaran.

Persoalan tak lantas selesai. Masalah bagaimana mendapatkan air dengan cepat menjadi masalah selanjutnya. Seringkali kebakaran terjadi di kawasan yang jauh dari sumber air, sungai, misalnya dan saluran air yang mungkin ada di dekat lokasi kebakaran seringkali kering di musim kemarau dan berlumpur pula. Untuk mengatasi masalah itu lahirlah sumur kebakaran yang dibikin di beberapa tempat. Air sumur bor dialirkan ke sumur kebakaran.

Markas Pemadam Kebakaran Kotapraja Batavia ini masih ditempati oleh Pemadam Kebakaran DKI Jakarta, yaitu di Gang Ketapang. Di abad 20 itu tangsi pemadam kebakaran memiliki kantor, ruang jaga, dan garasi dengan tiga mobil penyemprot air. Enam sepeda juga jadi bagian dari perangkat pemadam kebakaran ini.
Api merupakan kebutuhan manusia sehari-hari. Kebutuhan terhadap api itu tak bisa dihindari, karena ketika malam hari manusia memerlukan penerangan. Tentunya manusia menghadapi masalah sebelum mampu menciptakan api. Keadaan ini mendorong manusia untuk berpikir agar dapat mengontrol api, sehingga api dapat bermanfaat bagi kehidupannya. Dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan api di masa itu memberi pengaruh dalam mengakhiri masa nomaden. Hal ini juga berdampak terhadap perkembangan sosial dan politik seiring dengan perkembangnya pemukiman penduduk yang menetap. Akan tetapi, api yang sudah diketahui dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia, tetap dipandang sebagai elemen suci dan hebat. Banyak mitologi yang menganalogikan api menjadi sifat atau karakter manusia. Ketika manusia merasakan pengalaman bahwa api juga bersifat sangat merusak, sejak itu manusia terdorong untuk mengetahui cara mengontrol keganasan api. Ini terjadi kira-kira 300 tahun sebelum masehi (SM) di Roma. Ketika itu petugas pemadam kebakaran dan penjaga malam dibentuk dan ditugaskan kepada sekelompok orang yang diberi nama Familia Publica dan operasional dari kelompok ini diawasi oleh komite negara. Dalam buku yang berjudul Principles of Protection karya Arthur Cote, P.E dan Percy Bugbee dijelaskan, di zaman pemerintahan kaisar Agustus (Gaius Julius Caesar Octavianus) pada 27 SM sampai 12 Masehi, Roma mengembangkan "Departemen kebakaran" untuk tipe penghunian. Dan departemen ini mengorganisir para budak dan warga negara dalam wadah yang bernama Satuan Jaga (pelayanan penjagaan). Selanjutnya, dikeluarkan dekrit yang menyatakan seluruh rakyat wajib menjaga dan mengontrol api.

Adapun satuan jaga tersebut merupakan organisasi (pemadam kebakaran) yang pertama. Dibentuknya satuan ini bertujuan untuk melindungi manusia terhadap bahaya kebakaran. Tugas utama mereka adalah melakukan patroli dan pengawasan pada malam hari (dilakukan oleh Nocturnes). Dalam perkembangan selanjutnya, setiap anggota pasukan mempunyai tugas khusus bila terjadi kebakaran. Contohnya, beberapa anggota (aquarii) membawa air dalam ember ke lokasi kebakaran. Kemudian, dibangun pipa air (aquaducts) untuk membawa air ke seluruh kota, dan pompa tangan dikembangkan guna membantu penyemprotan air ke api. Siponarii adalah sebutan bagi pengawas pompa, dan komandan pemadam kebakaran dinamakan Praefectus Vigilum yang memikul seluruh tanggung jawab Satuan Siaga. Sedangkan hukum Romawi mengutus Quarstionarius (sekarang sama dengan Polisi Kebakaran), yang bertugas mengklarifikasi sebab-sebab terjadinya kebakaran. Pemerintah Kerajaan Romawi pada masa itu mulai menentukan kebijakan me-ngenai penggunaan selang kulit bagi kepentingan pemadaman kebakaran. Petugasnya juga membawa bantal besar ke lokasi kebakaran, sehingga orang yang terjebak di gedung tinggi dapat meloncat dan mendarat di atas bantal tersebut. Marco Polo mencatat tentang tata negara belahan timur pada abad 13, yakni pasukan rakyat dari pasukan pengawas dan pasukan kebakaran yang mempunyai tugas pencegahan kebakaran telah terbentuk di Hangchow. Mereka dalam melaksanakan tugasnya dapat mengerahkan satu sampai dua ribu orang untuk memadamkan api. Ribuan pasukan itu dibagi menjadi kelompok yang terdiri dari 10 orang, 5 orang berjaga pada siang, dan selebihnya berjaga pada malam hari.

1 comment:

  1. Mantaaap artikelnya Pak, mungkin bisa berkunjung ke blog saya http://tamtamfire113.blogspot.com

    ReplyDelete